BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sejarah peradaban Islam tentang Bani Umayyah yang kami tulis
ini bertujuan untuk lebih bisa memahami secara kritis tentang peradaban dan
kebudayaan Islam Bani Umayyah khususnya dan umumnya semua peradaban dan
kebudayaan Islam, jadi bukan berarti bahwa masalah-masalah yang menyangkut
kebudayaan dan peradaban Islam lainnya menjadi tidak penting dalam pembahasan
ini.
Kebudayaan adalah bentuk ungkapan dengan semangat mendalam
suatu masyarakat, sedangkan manisfetasi-manisfetasi kemajuan mekanis dan
teknologis lebih berkaitan dengan peradaban, kalau kebudayaan lebih banyak
direfleksikan dalam seni, sastra, religi (agama) dan moral maka peradaban
terefleksi dalam politik, ekonomi, dan teknologi.
B.
Rumusan Masalah
Dari
latar belakang tersebut dapat dirumuskan berbagai masalah berikut :
1.
Bagaimana perkembangan Islam pada masa bani
Umayah?
2.
Kapan tumbuh dan berkembangnya
Islam pada masa bani Umayah?
C.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut:
1.
Dapat mengetahui dengan jelas bagaimana perkembangan
Islam pada masa bani Umayah.
2.
Dapat menjelaskan kapan tumbuh dan berkembangnya Islam pada masa bani Umayah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Islam Pada Masa
Bani Umayyah
1.
Situasi Politik Ummat Islam Sepeninggal ‘Ali ibn Abi
Thalib
Pada saat
‘Ali r.a. menjabat sebagai khalifah, banyak terjadi pemberontakan. Diantaranya
dari Mu’awiyah ibn Abi Sufyan (yang pada saat itu menjabat sebagai gubernur di
Damaskus, Siria) dan didukung oleh sejumlah mantan pejabat tinggi yang telah
dipecat ‘Ali r.a. Disini timbul indikasi fitnah atau perang saudara karena
Mu’awiyah menuntut balas bagi Utsman (keponakannya) dan atas
kebijaksanaan-kebijaksanaan ‘Ali.
Tatkala
‘Ali beserta pasukannya bertolak dari Kuffah menuju Siria, mereka bertemu
dengan pasukan Mu’awiyah di tepi sungai Eufrat atas, Shiffin (657).1
Terjadi lah perang yang disebut perang Shiffin. Perang ini tidak
konklusif sehingga terjadi kebuntuan yang akhirnya mengarah pada tahkim atau
arbitrase. Dalam majlis tahkim ini ada dua mediator atau penengah. Mediator
dari pihak Ali adalah Abu Musa al-Asy’ari (gubernur Kuffah), sedangkan mediator
dari pihak Mu’awiyah adalah ‘Amr ibn al-Ash. Namun tahkim pun tetap tidak
menyelesaikan masalah.
Menurut
Ibnu Khaldun, setelah fitnah antara ‘Ali – Mu’awiyah, jalan yang ditempuh
adalah jalan kebenaran dan ijtihad. Mereka berperang bukan untuk menyebar
kebatilan atau menimbulkan kebencian, tapi sebatas perbedaan dalam ijtihad dan
masing-masing menyalahkan hingga timbul perang. Walaupun yang benar adalah
‘Ali, Mu’awiyah tidak melakukan tindakan berlandaskan kebatilan, tetap
orientasinya dalam kebenaran. Partai ‘Ali terpecah menjadi dua golongan,
yaitu Khawarij (orang-orang yang keluar dari barisan ‘Ali sekaligus menentang
tahkim) dan Syi’ah (para pengikut setia ‘Ali). Sementara itu, Mu’awiyah
melakukan strategi dengan menaklukkan Mesir dan mengangkat ‘Amr ibn al-Ash
sebagai khalifah di sana.
Jadi, di
akhir masa pemerintahan ‘Ali, umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan
politik; Mu’aiyah, Syi’ah, dan Khawarij.2
Kemunculan Khawarij semakin memperlemah partai ‘Ali, di sisi lain Mu’awiyah
semakin kuat. Mu’awiyah memproklamirkan dirinya sebagai khalifah di Yerusalem
(660). Kemudian ‘Ali wafat karena dibunuh oleh Ibn Muljam, salah seorang
anggota Khawarij (661).
2.
Pengangkatan Hasan ibn ‘Ali sebagai Khalifah
Setelah
‘Ali wafat, kursi jabatan kekhalifahan dialihkan kepada anaknya, Hasan ibn
‘Ali. Hasan diangkat oleh pengikutnya (Syi’ah) yang masih setia di Kuffah.
Tetapi pengangkatan ini hanyalah suatu percobaan yang tidak mendapat dukungan
yang kuat.3
Hasan menjabat sebagai khalifah hanya dalam beberapa bulan saja.
3. Peralihan
Kekuasaan dari Hasan ke Mu’awiyah
Di tengah
masa kepemimpinan Hasan yang makin lemah dan posisi Mu’awiyah lebih kuat,
akhirnya Hasan mengadakan akomodasi atau membuat perjanjian damai.
Syarat-syarat yang diajukan Hasan dalam perjanjian tersebut adalah:
- Agar Mu’awiyah tidak menaruh dendam terhadap seorangpun dari penduduk Irak.
- Menjamin keamanan dan memaafkan kesalahan-kesalahan mereka.
- Agar pajak tanah negeri Ahwaz diperuntukkan kepadanya dan diberikan tiap tahun.
- Agar Mu’awiyah membayar kepada saudaranya, yaitu Husain, dua juta dirham.
- Pemberian kepada Bani Hasyim haruslah lebih banyak dari pemberian kepada Bani Abdi Syams.
Perjanjian itu berhasil
mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik, di bawah
pimpinan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan. Dengan kata lain, Hasan telah menjual haknya
sebagai khalifah kepada Mu’awiyah. Akibat perjanjian itu menyebabkan
Mu’awiyah menjadi penguasa absolut. Naiknya Mu’awiyah menjadi khalifah pada
awalnya tidak melalui forum pembai’atan yang bebas dari semua umat. Mu’awiyah
dibai’at pertama kali oleh penduduk Syam karena memang berada di bawah
kekuasaannya, kemudian ia dibai’at oleh umat secara keseluruhan setelah tahun
persatuan atau ‘am jama’ah (661). Pembai’atan tersebut tidak lain
hanyalah sebuah pengakuan terpaksa terhadap realita dan dalam upaya menjaga
kesatuan umat. Maka, di sini telah masuk unsur kekuatan dan keterpaksaan
menggantikan musyawarah. Karenanya dapat dikatakan bahwa telah terjadi
perceraian antara idealisme dan realita.
4. Pengangkatan
Yazid sebagai Putra Mahkota dan Implikasinya Terhadap Perubahan Sistem
Pemerintahan dan Kekuasaan
Sistem kekhalifahan mengalami
perubahan baru, yaitu sistem monarki (kerajaan) atau monarchiheredetis
(kerajaan turun menurun). Suksesi kepemimpinan seperti ini terjadi ketika
Mu’awiyah menitahkan untuk mewariskan jabatan kekhalifahan kepada anaknya,
Yazid ibn Mu’awiyah. Maka mulai masuk prinsip warisan jabatan dalam sistem
kekhalifahan. Ide awal pewarisan kekhalifahan ini sebenarnya berasal dari
al-Mughirah ibn Syu’bah (gubernur Kufah). Ia menyarankan agar Mu’awiyah
mengangkat Yazid. Kemudian Mu’awiyah mengikuti saran al-Mughirah karena
beberapa alasan yang menurutnya kuat, meski harus mengabaikan saran Ziyad
(gubernur Bashra).
Mu’awiyah mempunyai beberapa alasan
mengenai pengangkatan Yazid, yaitu: Pertama, Yazid adalah satu-satunya
orang yang bisa diterima orang-orang Siria, karena apabila dari keluarga lain
akan membawa ke dalam keluarga dan marganya sesuatu yang mengganggu
keseimbangan kekuatan-kekuatan rawan yang telah dikembangkan oleh Mu’awiyah.
Latar belakang pengangkatan Yazid sebagai putra mahkota dan bukan yang lainnya
adalah untuk menjaga kemashlahatan rakyat dalam kesatuan dan kebersatuan
aspirasi mereka, dengan kesepakatan Bani Umayyah. Alasannya bahwa Bani Umayyah
tidak rela bila khalifah bukan dari kalangan dalam mereka dalam kapasitas
mereka sebagai elit masyarakat Quraisy dan para penganut Islam secara
keseluruhan, sekaligus kelompok yang paling berkuasa diantara mereka. Kedua,
faktor usia Mu’awiyah yang sudah tua mendesaknya untuk cepat memilih siapa
penggantinya. Ketiga, Mu’awiyah khawatir akan terjadi fitnah sebagaimana
fitnah petumpahan darah sejak kematian Khalifah Utsman.
Atas dasar itu, Mu’awiyah meminta
dikirimkan delegasi-delegasi dari kota-kota besar. Kemudian delegasi yang
datang dari kota Bashra, Kufah, dan Madinah berkumpul dalam sebuah konferensi
yang pada akhirnya mereka sepakat mendukung pembai’atan Yazid.
Yang perlu dikritisi disini ialah
Mu’awiyah telah membuat tradisi baru yang mengubah karakter sistem pemerintahan
dalam Islam. Sistem warisan telah menggantikan posisi sistem permusyawaratan,
dan hal itu nampaknya berdampak abadi dalam sejarah.
5. Perkembangan dan Kemajuan
Peradaban yang Dicapai
Pemindahan ibukota dari Madinah ke
Damaskus melambangkan zaman imperium baru dengan menggesernya untuk
selama-lamanya dari pusat Arabia, yakni Madinah yang merupakan pusat agama dan
politik kepada sebuah kota yang kosmopolitan. Dari kota inilah daulat Umayyah
melanjutkan ekspansi kekuasaan Islam dan mengembangkan pemerintahan sentral yang
kuat, yaitu sebuah imperium Arab.
Ekspansi yang berhasil dilakukan
pada masa Mu’awiyah antara lain ke wilayah-wilayah: Tunisia, Khurasan sampai ke
sungai Oxus, Afganistan sampai ke Kabul, serangan ke ibukota Bizantium
(Konstantinopel). Kemudian ekspansi ke timur dilanjutkan oleh khalifah Abdul
Malik yang berhasil menaklukkan Balkh, Sind, Khawarizm, Fergana, Samarkand, dan
India. Ekspansi ke barat dilanjutkan pada masa al-Walid ibn Abdul Malik dengan
mengadakan ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju barat daya, benua Eropa.
Wilayah lainnya yang berhasil ditaklukan adalah al-Jazair, Maroko, ibukota
Spanyol (Kordova), Seville, Elvira, dan Toledo. Di zaman Umar ibn Abdul Aziz,
serangan dilakukan ke Perancis. Selain itu, wilayah kekuasaan Islam meliputi Spanyol,
Afrika Utara, Siria, Palestina, Jazirah Arab, Irak, dan sebagian Asia Tengah.
Jasa-jasa dalam pembangunan di
berbagai bidang banyak dilakukan Bani Umayyah. Mu’awiyah mendirikan dinas pos,
menertibkan angkatan bersenjata, mencetak mata uang, dan jabatan Qadhi (hakim)
mulai berkembang menjadi profesi sendiri. Abdul Malik ibn Marwan adalah khaifah
yang pertama kali membuat mata uang dinar dan menuliskan di atasnya ayat-ayat
al-Qur’an.7
Ia juga melakukan pembenahan administrasi pemrintahan dan mmberlakukan bahasa
Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam. Pada masa khalifah
Al-Walid ibn Abdul Malik di bangun panti-panti untuk orang cacat, membangun
jalan-jalan raya, pabrik-pabrik, gedung pemerintahan dan masjid-masjid yang
megah. Khalifah Umar ibn Abdul Aziz memprioritaskan pembangunan dalam negeri,
keberhasilannya antara lain ialah menjalin hubungan baik dengan golongan
Syi’ah, memberi kebebasan kepada penganut agama lain untuk beribadah sesuai
dengan keyakinannya, pungutan pajak diperingan, dan kedudukan mawali
(non Arab) disejajarkan dengan muslim Arab. Dengan keberhasilan dan
keteladanannya, maka Umar ibn Abdul Aziz sering disebut-sebut sebagai khalifah
kelima setelah Ali ibn Abi Thalib. Di bidang keilmuan atau pendidikan, cakupan
keilmuannya tentang teologi dan keagamaan, misalnya legalisasi penyusunan
al-Qur’an pada masa Utsman yang telah disusun oleh Abu Bakar. Di bidang
kesastraan, muncul para penyair terkenal, seperti Umar ibn Abi Rabi’ah, Tuwais,
Ibnu Suraih, dan Al-Garidh.
Selain itu, jenis atau pola
pemerintahan terdahulu mulai berubah sejak zaman Mu’awiyah. Mu’awiyah bermaksud
mengikuti gaya pemerintahan monarki di Persia dan Bizantium. Ia tetap memakai
istilah khalifah, namun memberi interprestasi baru. Ia menyebut dirinya
“khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat oleh Allah. Menurut
beberapa ahli sejarah, pola pemerintahan yang dipakai pada masa Bani Umayyah
adalah Otokrasi.8
Walaupun telah berbentuk kerajaan, Bani Umayyah tetap membuktikan eksistensinya
dengan terus membuat kemajuan-kemajuan.
6. Gerakan
Separatis, Perlawanan dan Pemberontakan
Berbagai kemajuan memang telah dicapai
oleh bani Umayyah, namun konflik internal tetap terjadi. Hal ini terbukti
dengan banyaknya gerakan pemberontakan yang muncul dan pada akhirnya
menimbulkan perang saudara.
Diantara gerakan-gerakan perlawanan tersebut antara lain:
- Syi’ah
Gerakan ini merupakan gerakan yang
paling kuat, paling berani dan solidaritas kaumnya sangat tinggi, hingga dapat
menjatukan kekuasaan Bani Umayyah. Pemberontakan kaum ini didasarkan atas
kebencian mereka teradap Bani Umayyah dan rasa cinta mereka terhadap keluarga ‘Ali.
Gerakan ini erat kaitannya dengan pemikiran. Salah satu contoh yaitu dukungan
kepada Hussain ibn Ali agar menolak bai’at terhadap Yazid. Karena Hussain tetap
mempertahankan keteguhannya, ia bersama pasukannya dibunuh di Karbela.
- Perlawanan Abdullah ibn Zubair
Ia adalah seorang yang berambisi
ingin menjadi pemimpin. Pertama kali perlawanannya pada saat perang Jamal. Ia
adalah seseorang yang memiliki tipu daya. Ia juga tidak mempunyai falsafah,
revousinya tidak berdasar kepada prinsip-prinsip yang benar dan bukan pula
militer. Hampir dalam setiap pemberontakan, ia turut ambil bagian,tetapi hanya
sebagai provokator.
- Khawarij
Gerakan ini merupakan kumpulan dari
orang-orang yang keluar dari barisan ‘Ali atau tidak mendukung ‘Ali. Meskipun
benci terhadap ‘Ali, kaum ini lebih benci lagi terhadap Bani Umayyah. Nama lain
dari golongan ini adalah Muakkimah. Pemberontakannya terjadi di Kufah dan di
Madinah. Mazhab kaum ini sangat sedikit menggunakan falsafah dan
pemikiran-pemikirannya kurang mendalam.
- Mu’tazilah
Gerakan ini bersifat keagamaan,
tidak mengumpulkan pasukan dan tidak pernah menghunuskan pedang. Gerakan ini
sangat berkaitan dengan mazhab Khawarij. Dalam gerakan ini, muncul lagi
pendapat golongan, seperti Murji’ah, Jabariyah dan Mu’tazilah itu sendiri.
Karena konflik internal dalam negeri
yang tidak bisa diselesaikan, akhirnya dinasti ini tumbang (750), dan
digantikan dengan Daulat Bani Abbasyiyah. Ada beberapa faktor yang menyebabkan
Bani Umayya melemah dan membawanya pada keancuran, yaitu:
- Sistem pergantian kalifah melalui garis keturunan merupakan sesuatu yang baru bagi tradisi Arab yang menekankan aspek senioritas. Cara pengaturan yang tidak jelas serta terjadi persaingan tidak sehat di dalam keluarga kerajaan.
- Latar belakang Bani Umayyah tidak lepas dari konflik politik pada masa ‘Ali, jadi banyak perlawanan dari golongan oposisi.
- Terjadi pertentangan antar etnis, antar suku dan status golongan mawali.
- Sikap hidup mewah di istana yang dilakukan anak-anak khalifah.
- Muncul kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas ibn Abd al-Muthalib.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Masa-masa
keemasan (golden age) yang terjadi pada zaman Muhammad saw. dan Khulafa
ar-Rasyidin telah berakhir dan digantikan dengan masa Kerajaan (Mulkan/
Kingdom/ Monarchi/ Otokrasi) oleh Bani Umayyah. Sebagaimana perputaran roda
kehidupan, begitulah yang terjadi dalam sejarah Islam, kadang berada pada
posisi puncak kejayaan dan kadang berada pada posisi paling bawah.
Banyak yang mengecam pemerintaan
Bani Umayyah, namun kita jangan sampai lupa terhadap jasa-jasa dinasti ini yang
telah turut membangun sebuah peradaban. Di tangan Bani Umayyah, Islam mengalami
banyak kemajuan dengan tersebarnya hingga ke banyak wilayah. Walaupun berubah
sistem tapi syiar islam begitu luas.
Bani Umayyah memang tidak bisa
disalahkan begitu saja, karena pastinya para penguasa ini mempunyai ijtihad
tersendiri untuk merubah sistem musyawarah menjadi warisan khalifah disamping
kondisi dan tekanan yang terjadi di masa itu.
Daftar
Pustaka
§ Marshall G. S. Hodgson, The
Venture of Islam, (Jakarta: Paramadina, 2002), hlm. 311.
§ DR. Badri Yatim, M.A., Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2003), hlm. 40.
§ Prof. DR. A. Syalabi, Sejarah dan
Kebudayaan Islam, Jilid 2, (Jakarta: Pustaka Alhusna,1982), hlm.33.
§ ‘Aqidatus Syi’ah, hlm. 86.
§ DR. M. Dhiauddin Rais, Teori
Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm.139-140.
§ John L. Esposito, Islam dan
politik, (Jakarta: Bulan Bintang,1990)
§ Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa’,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003), hlm. 258.
§ Aden Wijdan SZ. Dkk., Pemikiran
dan Peradaban Islam, (Jakarta: Safiria Insania Press, 2007)
§ http://mahasyimiyah.wordpress.com/2011/04/22/bani-umayah-damaskus/